CERITA DEWASA | CERITA MESUM | CERITA SEX | CERITA PORNO | FOTO PORNO
Suara erangan dan jerit kenikmatan bersahutan dalam kamar suite di
hotel bintang empat tersebut. Di atas ranjang yang besar terlihat
seorang wanita muda, berkulit putih rambut sebahu sedang mengerang
nikmat ketika laki-laki muda yang ada di atasnya menghentakkan
pinggulnya sembari menciumi leher wanita itu.
“Ahhh, kluuaaarrh Don, aku dapettss!” Wanita itu mengejang menggapai orgasme. “Ampunhh, aduuh, lagiih, lagiih!”
Terjangan orgasme membuat wanita itu kewalahan dan pasrah ketika
laki-laki yang bernama Doni itu membalik tubuhnya dan langsung
menyetubuhinya lagi dengan gaya Doggie Style.
“Ahhh, ahhh, mentok ahhh, ampuunnhh, gilaaaaahhkk!” Wanita itu mengejang lagi untuk kesekian kalinya.
Udara sejuk dalam kamar itu tidak mampu menahan keringat keluar dari
tubuh kedua orang itu. Wajah laki-laki itu tampak mengejang berusaha
menahan desakan dalam penisnya yang begitu kuat. Ia berusaha
memperlambat tempo supaya bisa lebih lama menikmati tubuh wanita yang
sekali lagi mengerang nikmat mendapatkan orgasme entah untuk yang
keberapa kalinya.
“Aduh Don, udahan plis, lemes banget inih, kluarin beb..” Wanita itu
merengek sambil mengerang ketika orgasme kembali menerjang dari bawah
tubuhnya.
“Bentar lagi Lin, masih blom puas nih say.” Doni membalik tubuh wanita yang bernama Lindia lalu memasukan lagi penisnya.
Lindia hanya mengerang pasrah merasakan batang penis Doni yang begitu keras merasuki vaginanya.
“Hahhh, hahhhh, mo kluar Lin, aaaahhh!” Doni menghentak-hentak makin keras sambil menahan pinggul Lindia.
“Yahhk, yahhk, bareng Don, aduh gilaaahhhkkkk!”
Doni dan Lindia mengerang keras, tubuh Lindia mengejang dan bergetar
ketika merasakan semburan sperma Doni ke dalam dirinya. Dengan nafas
memburu keduanya tergeletak lemas di atas ranjang. Doni dan Lindia
menatap satu sama lain sambil tersenyum bahagia. Di lantai kamar itu
berserakan gaun pengantin serta tuxedo yang mereka kenakan tadi siang
pada waktu resepsi pernikahan mereka. Doni mencium bibir Lindia, yang
sekarang sudah resmi menjadi istrinya.
Sudah begitu lama ia menunggu untuk bisa bercinta dengan Lindia, yang
sangat menjaga kehormatan dirinya. Lindia yang kehabisan tenaga,
merasakan kebahagiaan karena bisa membuat suaminya begitu puas dalam
bercinta, karena selama ini Lindia kadang merasa grogi menjelang malam
pertama mereka ini. Sejak kecil ia selalu diajarkan dasar agama yang
kuat sehingga ketika Doni mengajaknya bercinta selama mereka berpacaran,
ia selalu menolak halus.
Ada rasa kuatir dalam diri LIndia, kalo ia tidak bisa memuaskan Doni
pada saat malam pertama mereka, tetapi semua itu sirna sudah, dan Lindia
juga kewalahan ketika mengetahui dirinya yang mudah mendapatkan orgasme
pada saat berhubungan intim. Lindia merasakan lidah Doni dalam
mulutnya, sementara tangan Doni sudah mulai lagi merabai vaginanya yang
basah.
“Huuumppphh Doonnhh, break duluuu..” Lindia menggelinjang ketika
penis Doni sudah kembali berada di depan liang vaginanya. “Ooohhhkk,
addduhh, keras bangeeet..”
Protes Lindia tidak digubris Doni, yang masih blom puas menyalurkan
nafsunya yang sudah tertahan selama ini. Ia menindih Lindia dan
memasukan penis perlahan. Lindia hanya bisa pasrah menerima penis
suaminya itu, ia mengerang ketika kenikmatan mulai datang lagi dari
bawah tubuhnya.
Bulan demi bulan setelah pernikahan mereka kehidupan Doni dan Lindia
hampir sempurna. Mereka sangat menikmati hidup baru mereka, karena sudah
menjadi keputusan mereka untuk menunda dalam memiliki anak agar bisa
mengejar karir di dunia kerja mereka masing-masing.
—
Mei 2014
Doni mendapat kenaikan jabatan menjadi Direktur Keuangan di
perusahaan tempat dia bekerja, menggantikan direktur yang lama, yang
mengundurkan diri. Walaupun ia mendengar gosip tidak mengenakan soal
pengunduran diri direktur yang lama itu, tapi rasa bahagia Lindia dan
dirinya mengalihkan perhatiannya.
—
Agustus 2014
Doni dan Lindia menempati rumah baru mereka. Dengan menggunakan
tabungan mereka sebagai uang muka, mereka membeli rumah dan membayar
sisanya melalui kredit. Dengan gaji Doni sebagai direktur keuangan dan
penghasilan Lindia sebagai sekretaris di perusahaan pembiayaan, mereka
sangat mampu membayar cicilan rumah tersebut.
—
November 2014
Seorang staff bagian keuangan tertangkap tangan menggelapkan uang
perusahaan. Tiga orang staff yang terlibat. Direktur utama perusahaan
itu, Pramono, memerintahkan untuk melakukan audit penuh pada divisi
keuangan pimpinan Doni itu.
—
Desember 2014
Hasil audit menunjukan Doni, secara tidak langsung terlibat dalam
penggelapan dana ratusan juta tersebut. Doni menyangkal keras
keterlibatannya, tetapi tanda tangan pada dokumen yang sebenarnya belum
pernah dilihat sama sekali oleh Doni membuat ia tidak memiliki kekuatan
untuk menyangkal lebih lama. Tim audit menelusuri lebih jauh kasus
penggelapan itu, dan menimpakan semua kesalahan direktur keuangan yang
lama pada Doni sebagai pejabat baru.
Kerugian perusahaan mencapai hampir satu milyar. Pramono yang harus
menjaga nama baik perusahaannya, memberikan pilihan pada Doni, untuk
mengganti seluruh kerugian atau membawa kasus ini ke ranah hukum. Dunia
Doni dan Lindia langsung jungkir balik. Rumah dan mobil mereka terpaksa
dijual untuk mengganti kerugian perusahaan. Sekarang mereka tinggal di
rumah kontrakan kecil di pinggir kota. Tetapi itu juga masih belum
mencukupi untuk mengganti kerugian.
—
4 Januari 2015
Polisi menangkap Doni atas tuduhan penggelapan. Pramono memberikan
waktu kepada Doni dan Lindia untuk menyelesaikan kekurangan kerugian
perusahaan selama satu bulan. Jika dalam satu bulan tidak dapat
diselesaikan, maka proses perkaranya akan diteruskan.
—
20 Januri 2015
Lindia termenung di meja kerjanya. Tugas-tugas hariannya banyak yang
terbengkalai. Matanya sembab hasil menangis semalaman. Lingkaran hitam
di matanya tampak jelas karena ia tidak cukup tidur memikirkan Doni yang
ditahan di kantor polisi. Mei, teman sekantor Lindia, masuk ke dalam
ruangan Lindia.
“Kamu kenapa Lin? Buat apa kamu minta nomer kontak ini?” Muka Mei
penuh pertanyaan. “Orang ini bukan orang baik-baik loh. Bahaya. Boss aja
angkat tangan kalo udah urusan sama dia.”
“Aku gak bis cerita Mei.” Tangan Lindia membalik-balik kertas putih
bertuliskan nomor telepon. “Aku tau dia bukan orang baik-baik. Tenang
aja Mei.”
“Hati-hati Lin!” Mei tampak cemas, sudah hampir sebulan ini sahabatnya
Lindia ini tampak terbebani sesuatu. Ada gosip-gosip yang beredar, tapi
Mei lebih memilih menunggu Lindia bercerita sendiri kepadanya.
“Hati-hati Lin!” Mei kembali berkata sebelum keluar ruangan Lindia. Sedangkan Lindia hanya termangu menatap kertas tadi.
Tanpa ekspresi kemudian Lindia meraih ponselnya kemudian menghubungi nomor tadi.
—
1 Februari 2015
920, Lindia menatap nomor kamr hotel itu. Masih ada kesempatan untuk
balik Lindia melihat lagi SMS yang diterimanya tadi. Jam 6 sore. Masih
ada waktu untuk membatalkan semuanya. Lindia menarik nafas panjang.
Tangannya menekan bel yang ada di samping pintu tadi. Semoga tidak ada
orang. Semoga salah. Semoga salah. Seorang gadis muda, mengenakan
seragam SMA, membuka pintu itu. Raut mukanya tampak kelelahan, tapi ia
masih bisa tersenyum hangat pada Lindia sebelum mempersilakan ia masuk.
Gadis itu mengenakan jaket serta menyandang tasnya sebelum keluar
kamar dan menutup pintu. Mata Lindia dan gadis itu sempat bertemu
sebelum pintu menutup. Dan Lindia melihat rasa kuatir pada tatapan gadis
itu. Dalam kamar suite itu Lindia perlahan melangkah masuk menuju
ruangan utama. Duduk di atas sebuah sofa besar, terlihat seorang
laki-laki sedang membaca beberapa lembar kertas. Tubuhnya terlihat besar
tanpa lemak berlebih. Lindia hanyak bisa menebak laki-laki itu berumur
sekitar 40an dengan melihat raut mukanya. Laki-laki itu mengangkat
mukanya ketika Lindia sampai di tengah ruangan. Ia menatap jam yang ada
di dinding.
“On time ya. Gua suka orang on time.” katanya sambil mengamati Lindia.
“Malem Ko Han. Maaf mengganggu.” Lindia menjawab dengan tenggorokan kering.
Lindia hanya mengenal laki-laki itu dipanggil Ko Han oleh boss-nya.
Ko Han sering dihubungi jika ada nasabah dari kantor Lindia yang kabur
atau bermasalah. Dari Mei, Lindia mendengar jumlah anak buah Ko Han yang
puluhan serta koneksinya yang seperti tidak terbatas dimana-mana
membuat Ko Han bukan orang yang bisa diperlakukan secara main-main.
“Jadi? Gimana? Lo jadi?” tanya Ko Han sambil menatap Lindia.
“Iya Ko, jumlahnya segitu Ko apa bisa ya Ko?” jawab Lindia cemas.
“Jumlah segitu banyak banget. Gua juga barusan kenal lo kemaren. Boss lo
gak tau ya kalo lo cari gua? Gua juga tanya ke bos suami lo, si Pramono
kemaren dulu.”
Lindia agak kaget mendengar Ko Han bisa mencari informasi tentang
Doni dan Pramono yang belum pernah ia ceritakan sebelumnya kepada
siapapun.
“I..iya Ko. Saya usahakan kembali secepatnya.”
“Lo gak usah janji muluk-muluk lah. Lo liat aja kondisi lo sendiri. Laki
lo dipenjara. Lo gaji paling berapa. Sampe kapan lo mau balikin?”
Tubuh Lindia lemas mendengar kaya-kata Ko Han. Jalan terakhir yang ia
tempuh sepertinya akan berubah menjadi jalan buntu dalam sekejap.
“Tapi Ko…” Lindia terdiam melihat tatapan mata Ko Han.
“Tapi apa lagi? Lo punya jaminan apa?”
Lindia hanya bisa terdiam. Mukanya panas, ia berusaha keras menahan air mata yang mendesak keluar.
“Lo jaminin badan lo aja!”
Koh Han
“No! No! Pulang aja Lin… Pulang…” naluri Lindia menjerit untuk segera keluar dari tempat itu. Tapi tubuh Lindia tak bergerak.
“Gimana? Kalo deal, gua test drive lo sekarang. Kalo emang oke besok-besok gua kabarin soal permintaan lo.” Ko
Han tersenyum melihat Lindia bimbang. “Gua masih banyak janji nih Lin, kalo lo mau buruan copotin tuh baju trus gua test drive.”
“Jangan! Pulang! Doni gak bakal mau kamu gini. Pulang!”
“Ini demi Doni. Demi Doni.”
“Jangan!”
Tas tangan yang dibawa Lindia jatuh ke lantai kamar. Dengan tangan
gemetar Lindia membuka kancing bajunya satu per satu. Baju itu pun
menyusul tas Lindia jatuh ke lantai. Tangan Lindia menarik turun rok
yang ia kenakan. Melorotkan bra dan celana dalamnya. Air mata mengalir.
Tatapan matanya kabur. Tubuhnya gemetar. Tangan Lindia menutupi dada dan
vaginanya.
“Pulang! Jangan!”
“Demi Doni! Demi Doni!”
“Gua gak punya banyak waktu, jadi lo kerjain aja yang musti lo kerjain.
Gua mau liat hasilnya aja.” Ko Han melepaskan jubah tidur yang ia
kenakan, membuat Lindia dapat melihat penisnya yang setengah menegang.
Hampir saja Lindia jatuh terjerembab karena berjalan limbung
mendekati Ko Han yang duduk bersandar di sofa sambil menatap
langit-langit menunggu layanan dari Lindia. Penis Ko Han menegang ketika
tangan Lindia menyentuhnya. Lindia memejamkan mata, membayangkan
seluruh film porno yang pernah ia tonton bersama Doni. Ketika itu mereka
tertawa konyol melihat adegan-adegan film biru itu sebelum akhirnya
bercinta dengan liarnya. Ko Han mendengus merasakan mulut Lindia
menghisap penisnya. Sebentar saja Lindia menggunakan mulutnya penis itu
sudah menegang maksimal. Lindia menaiki tubuh Ko Han.
“Doni. I love you! I love you! Maafkan! I love you babe.”
Lindia mengerang merasakan vagina dibuka oleh dorongan penis Ko Han
ketika ia menurunkan pinggulnya. Gesekannya terasa perih, tidak seperti
ketika Doni memasuki tubuhnya. Tubuh Lindia gemetar ketika seluruh penis
Ko Han masuk ke dalam vaginanya. Perlahan Lindia mulai bergerak naik
turun berpegangan pada pundak Ko Han.
“Doni! Maafkan aku… Maaf sayang!”
Tubuh Lindia mulai bereaksi. Cairan cinta mulai melumasi vaginanya.
Rangsangan muncul menggantikan rasa perih. Lindia mengerang ketika
merasakan buah dadanya diremas disusul oleh hisapan oleh mulut Ko Han.
“Ohhhkk, jangan, jangaaannhh, aahhhh, plisssshhh…” Lindia meronta
ketika rangsangan terus datang dan berlipat ganda membuat tubuhnya total
meledak dalam kenikmatan. “Ahhhh, jangaaaaannnnghhkkkk, aaaahahhhkkk!”
Tubuh Lindia menyerah kalah. Orgasme datang menghempaskan harga diri
Lindia. Air mata kembali menetes ketika Lindia jatuh lemas di badan Ko
Han.
“Ohhh udahhhkk kooo, udaahhhh…” Lindia merintih ketika tangan Ko Han
memaksa pinggulnya kembali bergerak naik turun. “OOoh, kooo plisshhh
stoppp ahhhhhhhhhhkk….”
Orgasme kedua datang. Yang ketiga menyusul. Pinggul Ko Han sekarang ikut bergerak. Membuat penisnya masuk semakin dalam.
“AMpppunnn! Udah! Udah plis! Ampun Kooooohhhkkkkk…”
Keempat. Kelima.
“Hhhgggghhhk!”
Cairan hangat memenuhi vagina Lindia. Pecah tangis Lindia. Ia meraung
kalah merasakan sperma Ko Han mengalir keluar dari vaginanya. Ia
melepaskan diri dari Ko Han meringkuk di lantai. Menangis kalah.
“Luar biasa!” Ko Han tersenyum puas. “Hoki banget laki lo bisa puya bini kayak lo ya.”
Lindia merangkak menjauh menggapai pakaiannya.
“Sekarang lo pulang aja. Tunggu kabar dari gua.” Ko Han bangkit meninggalkan Lindia masuk ke kamar mandi.
Seperti orang linglung Lindia berpakaian. Celana dalamnya lembab
terkena cairan sperma Ko Han. Rambutnya kusut. Ia berjalan sambil
melamun sepanjang lorong hotel itu.
—
3 Februari 2015
Lindia menggengam erat bukti setoran yang baru saja ia terima kembali
dari teller bank tempat ia menyetorkan uang kerugian perusahaan milik
Pramono sesuai dengan petunjuk dari Pramono ketika Lindia menghubunginya
tadi pagi. Hari ini adalah hari terakhir batas waktu untuk
mengembalikan semua kerugian dari kasus Doni. Di depannya sofa tempat
Lindia duduk, Pramono sedang mengamati bukti transfer yang diberikan
oleh Lindia. Waktu menunjukan pukul 7 malam di ruangan kerja Pramono,
direktur utama sekaligus pemilik perushaan itu.
“Sayang sekali bagian keuangan gak sempet cek ya Bu, apakah udah
masuk atau belum ke rekening kami.” Pramono mengembalikan bukti transfer
itu.
“Tapi bener saya sudah setor kok Pak. Gak mungkin saya boongin Bapak.” Lindia menatap cemas.
“Saya sih percaya Bu Lindia gak boong. Tapi tadi bagian legal terlanjur memutuskan untuk meneruskan kasus Pak
Doni ini untuk diproses. Jadi dari perusahaan kami sudah gak bisa menarik laporan pengaduannya Bu.”
Lindia tidak bisa percaya atas pendengarannya sendiri. Ia berkata
panik, membela diri mengatakan kalo Pramono yang baru bersedia
ditemuinya pada jam tujuh, padahal ia sudah menunggu sejak pagi tadi.
Suara Lindia terdengar begitu panik hampir-hampir ia menjerit-jerit
putus asa atas perkebangan yang terduga ini.
“Saya gak bisa bantu apa-apa Bu, karena perusahaan ini kan punya
prosedur soal kasus ini. Maaf sekali Bu.” kata Pramono ketika Lindia
terdiam kehabisan kata-kata menatapnya. “Saya paling hanya bisa
menghubungkan ibu dengan orang kepolisian dan kejaksaan yang memproses
kasus ini. Mungkin masih bisa dipending atau digugurkan.”
Secercah harapan tumbuh di mata Lindia.
“Terima kasih Pak Pram, mohon info kontaknya saja Pak, supaya bisa saya hubungi secepatnya Pak. Terima kasih sebelumnya.”
“Nomor kontak dan nama ada di kartu ini Bu, silakan dikontak sendiri
ya…” jawab Pramono. “Tapi gak salah sepertinya kalo saya minta tolong
juga kepada Bu Lindia, sesuai dengan informasi dari Ko Han. Katanya
kemaren
Ibu ketemu Ko Han, dan saya disarankan Ko Han untuk bisa minta bantuan pada Ibu sepertia pa yang Ibu udah berikan pada Ko Han.”
Wajah Lindia berubah dari jijik, kemudian marah dan panik mendengar
perkataan Pramono. Pramono hanya tersenyum melihat raut wajah Lindia.
“Bagaimana Ibu? Kebetulan saya ada janji makan malam sama keluarga.
Ulang tahun istri saya. Kalo ibu keberatan membantu saya terpaksa belum
bisa membantu ibu juga.”
Tubuh Lindia yang lunglai, sudah memberikan jawaban pada Pramono. Ia
bangkit mengunci pintu ruangannya dan kemudian menarik turun semua tirai
yang ada di ruangan itu. Suasana ruangan itu seketika menjadi muram
bercampur kemesuman yang begitu terasa oleh Lindia. Pramono berdiri di
hadapan Lindia. Lindia menegakkan tubuhnya, kemudian melepaskan ikat
pinggang yang dikenakan Pramono. Celana panjang itu jatuh, disusul
celana dalam Pramono.
—
11 Februari 2015
Butuh waktu seminggu untuk bisa bertemu dengan ketiga orang yang
duduk di depan Lindia. Dengan sisa uang gajiannya Lindia mengajak
ketiganya bertemu di lobby sebuah hotel. Ketiganya mengenakan pakaian
dinas karena saat itu masih pagi dan hari kerja. Mereka orang dari
kejaksaan dan kepolisian yang mengurusi kasus Doni.
“Peraturannya memang kalo udah diproses harus diteruskan Bu, karena
walaupun dicabut juga gak pengaruh ya..” Tasirin dari kejaksaan berusaha
menjelas keadaan kasus Doni pada Lindia. Mahmud rekannya serta Basiran
dari kepolisian hanya mendengarkan serta menganggukan kepalanya.
“Trus gimana Pak? Saya udah bayar ganti ruginya penuh Pak. Hanya
karena miss dengan jadwal Pak Pramono aja jadi kayak gini.” mohon Lindia
pada Tasirin. “Apakah gak bisa dibantuin Pak? Kalo ada biaya bisa
dikondisikan kok Pak.”
“Bukan masalah biayanya Bu, tapi emang susah kalo diproses gitu. Musti
kasus khusus banget kalo mau direvisi ini itu nya.” jawab Mahmud.
“Proses merubah jadi kasus khususnya itu yang berat sekali dan rumit
Bu.”
“Kami kan juga punya atasan, jadi musti bisa dipertanggung jawabkan kalo ada revisi Bu.” timpal Basiran.
Lindia menatap ketiga orang itu.
“Bapak-bapak semua, sudah ketemu dengan Ko Han sebelum kesini?” tanya Lindia lirih.
Ketiga orang itu hanya tersenyum.
“Saya tau maksud Bapak.” Lindia berkata pahit. “Silakan Bapak tunggu
sebentar. Saya buka kamar dulu. Nomor kamar serta kuncinya nanti saya
tinggal di receptionist.”
Lindia bangkit meninggalkan ketiga orang tadi dan melangkah masuk
lift menuju receptionist. Ketika ketiga orang itu masuk kamar Lindia,
mereka melihat Lindia sudah mengenakan bathrobe putih. Ketiganya duduk
tanpa melepaskan pandangan pada tubuh Lindia. Lindia menjatuhkan
bathrobe itu ke lantai. Tarikan nafas terdengar jelas di kamar itu.
Tubuh Lindia yang mulus menyita perhatian ketiga orang itu. Hampir
serempak ketiganya bangkit, melepaskan pakaian dinas dengan beragam
atributnya itu hingga terserak di lantai.
Ketiganya mengitari Lindia. Mata Lindia memancarkan rasa kuatir
bercampur malu. Selanjutnya semua berlangsung cepat. Jamahan. Remasan.
Ciuman. Jilatan. Datang silih berganti. Lindia merasakan jilatan di
vaginanya, tapi kemudian berubah menjadi gesekan sebuah jari. Buah dada
kirinya di remas dari belakang. Puting kanannya merasakan lidah dan
gigitan. Rasa lembab terasa pada vaginanya. Gesekan jari itu mulai
terasa nyaman. Dua buah tangan menekan pundaknya memaksa Lindia jatuh
berlutut. Sebuah penis mengacung di depan mulutnya. Mahmud mendesis
nikmat ketika mulut hangat Lindia menyelimuti kepala dan batang
penisnya. Usapan lidah Lindia membuat penisnya berdenyut.
“Terus Bu.. Ohhh, gila enak banget. Ditelen ya Bu! telen!” Tangan Mahmud meremas rambut Lindia.
Lindia membelalakan matanya. Ia menggeleng.
“Gahhhkkk, jahannnngg!” Lindia berusaha menarik kepalanya, tapi
tangan Mahmud menahannya. Dua pasang tangan lain menahan tubuhnya yang
meronta.
“OOOhhhh hhhggghhhkkk oooohhhhkkkkk.” Mahmud mengejang dan mendorong maju kepala Lindia.
“Huuurkkkkhhh, hhhuuuuekeekkkkk!”
Lindia meronta sekuat tenaga ketika semburan sperma memenuhi rongga
mulutnya. Tubuh telanjangnya berlari menuju kamar mandi dan mengeluar
isi mulut dan perutnya ke wastafel. Suara air terdengar mengalir di
wastafel ketika Lindia jatuh terduduk lemas di lantai kamar mandi.
Nafasnya memburu. Perutnya terasa mual.
Seseorang masuk ke kamar mandi mendekati Lindia.
“Yuk lanjut Bu…” kata Basiran berdiri dengan penis tegang.
Tertatih Lindia berusaha bangun berlutut. Memasukan penis itu ke
dalam mulutnya. Hanya butuh beberapa menit sebelum semburan sperma
memenuhi mulut Lindia lagi. Kali ini ia tidak sempat menumpahkan lagi
isi perutnya ke dalam wastafel. Sperma Basiran berceceran di lantai
keluar dari mulut Lindia. Isi perutnya yang kosong membuat mulut Lindia
terasa pahit ketika ia muntah untuk kedua kalinya. Di belakang Basiran
datang Tasirin. Lindia harus berpegangan pada kaki Tasirin untuk
mengangkat tubuhnya.
Ia begitu lemas sehingga Tasirin leluasa menggerakan kepalanya maju
mundur dengan brutal. Pandangan Lindia berkunang-kunang. Semburan ketiga
datang. Lindia jatuh kejang-kejang memuntahkan semuanya. ia menjerit
sakit ketika perutnya berkontraksi berusaha mengeluarkan muntahnya tanpa
hasil. Tasirin meninggalkan Lindia terkapar di lantai. Sayup-sayup
Lindia mendengar ketiga orang itu tertawa sambil mengobrol. Bau asap
rokok perlahan masuk ke kamar mandi itu. Lindia berusaha bangkit, masuk
ke dalam bathtub. Ia menarik tirai bathtub, membuka keras air panas.
Tubuhnya mengigil walaupun shower menyirami tubuhnya dengan air panas.
Lindia duduk memeluk lututnya membiarkan air terus menerus menyiram
tubuhnya. Sseorang menyibak tirai bathtub itu.
“Saya tunggu dari tadi kok gak keluar Bu.” tanya Basiran. “Ya udah disini aja gak apa deh. Kayak di film.”
Basiran melangkah masuk bathtub. Ia mengangkat tubuh Lindia dan
menghadapkannya ke dinding membelakanginya. Basiran menaikan satu kaki
Lindia ke bibir bathtub sebelum mendorong masuk penisnya.
“Pelan pahhhhkkkkk, ssssshhhhh pelaaaaahhhkkkk…” Lindia mengerang
merasakan vaginanya dimasuki batang penis Basiran. Tangannya menahan
tubuh dan dorong Basiran pada dinding sementara siraman air terus jatuh
ke tubuhnya.
Basiran mulai bergerak maju mundur. hawa kamar mandi menjadi begitu
panas dan beruap. Tubuh Lindia berkilat tertimpa cahaya lampu. Suara
dengusan Basiran terdengar jelas di belakang Lindia. Lindia merintih.
Kepalanya menggeleng ketika merasakan tubuhnya kembali berontak. Makin
lama makin kuat sampai akhirnya meledak.
“Ooohhhkkkkk, hhhgghhhhkkk…” Lindia mengejang kedua kalinya ketika tangan Basiran memilin kedua putingnya.
Orgasme masih datang beberapa kali pada Lindia, sebelum akhirnya
Basiran memeluk erat tubuh Lindia sambil menghentak keras. Hembusan
nafas berbau rokok tercium dari belakang Lindia. Tertatih Lindia
didorong keluar kamar mandi. Di luar udara dingin AC langsung mengigit.
Tubuh Lindia mengigil, tapi hanya sekejap ia merasakannya, karena Mahmud
dan Tasirin sudah menarik dan mendorong tubuh Lindia ke atas ranjang.
Basiran tersenyum melihat dua rekannya berebut menikmati tubuh ibu rumah
tangga yang masih muda itu. Ia dan rekannya baru pertama kali merasakan
tubuh wanita keturunan.
Karena selama ini setiap gratifikasi seks selalu dengan wanita
pribumi. Oleh karena itu ia dan rekannya bertekad akan memanfaatkan
setiap jengkal tubuh Lindia maksimal dan habis-habisan. Lindia
menjerit-jerit ketika orgasme datang lagi ketika Mahmud menggarap
tubuhnya dari belakang. Tapi jeritan itu langsung berubah menjadi
gumaman ketika penis Tasirin kembali masuk mulut Lindia. Beberapa menit
kemudian Mahmud mencapai puncaknya.
Tubuh Lindia gemetar tak bergerak di atas ranjang. Tasirin membalik
tubuh Lindia, membuka kakinya dan memasukan penisnya. Mulut Lindia
terbuka tapi tenaganya sudah habis untuk mengeluarkan erangan. Ia
menggeliat ketika Tasirin mulai menyetubuhinya. Tangannya
menggapai-gapai. Matanya melihat Mahmud dan Basiran duduk menikmati
pertunjukan di atas ranjang itu. Semburan hangat terasa kembali. Lindia
memejamkan matanya. Tenaganya benar-benar habis.
“Doni… maaf..”.
—
Lindia membuka matanya. Tubuhnya terasa sakit ketika ia berusaha melihat
jam. Pukul 9 malam. Keadaan kamar itu remang-remang. Hanya dirinya yang
terbaring di ranjang. Suara air mengalir terdengar dari kamar mandi.
Lindia menarik selimut menutupi tubuhnya ketika seseorang keluar dari
kamar mandi. Basiran dalam keadaan telanjang bulat melangkah mendekat.
Ia tersenyum.
“Malam ini cuman kita berdua Bu. Anggap aja hoenymoon kedua Bu Lindia yah.”
Ia naik ke atas ranjang, menarik selimut dari tubuh Lindia dan
kembali menindih tubuhnya. Lindia melayani Basiran semalaman. Lindia
teringat pada malam pertamanya bersama Doni. Doni hanya butuh waktu
istirahat sebentar sebelum menyetubuhinya lagi. Demikian juga Basiran.
Sayup-sayup Lindia mendengar adzan subuh ketika Basiran akhirnya
terpuaskan birahinya dan jatuh tertidur. Dengan sisa tenaganya Lindia
masuk ke kamar mandi.
Ia menuangkan seluruh sabun mandi yang ada untuk membasuh tubuhnya
yang terasa begitu kotor. Ketika Mahmud dan Tasirin datang lagi pada
pukul sembilan pagi, mereka melihat Lindia sedang menaiki tubuh Basiran
yang sedang berbaring sambil merokok menikmati goyang tubuh Lindia.
Kedua orang itu langsung bergabung sebelum akhirnya mereka merasa cukup
dan kehabisan tenaga. Mahmud memberikan sebuah amplop coklat besar pada
Lindia. Lindia tidak merasakan sakit seluruh tubuhnya ketika bergegas
keluar hotel dan menuju rumah tahanan dengan taksi.
—
14 Februari 2015
Tubuh gadis itu mengejang lagi. Sempoyongan berusaha tetap tegak di
atas tubuh Ko Han yang sedang berbaring menikmati jilatan lidah Lindia
pada puting susunya. Lindia melihat gadis itu. Bibirnya terlihat
memucat. Dia kehabisan tenaga. Lindia medekati gadis itu. Menciumi
pipinya kemudian bibirnya. Perlahan ia mendorong tubuh gadis itu turun
dari tubuh Ko Han.
Lindia kemudian membelakangi Ko Han sambil mengangkat pantatnya. Ko
Han langsung bangun dan memasukan penisnya ke vagina Lindia. Vagina
gadis itu tepat di depan muka Lindia. Lidah Lindia menjilati vagina yang
hanya ditumbuhi bulu-bulu halus itu. Gadis itu merintih. vaginanya
kembali basah. Lindia pun kembali merasakan orgasmenya datang. Gadis itu
mengaran semakin keras. tangannya meremas sprei, tubuhnya menggeliat.
“Oohh mbakkk, ooohhh aduuh…” gadis itu merintih. “Mbahkkk mbaaahhhkkkaaa…”
Gadis itu mengejang.
“Tiar kluar lagih mbaaaaaaakkkhhhhh……..”
—
Lindia berdiri disamping taksi. Tangannya berusaha merapikan bajunya
yang sedikit terlihat kusut ketika keluar dari hotel tadi. Pada ponsel
di tangannya terlihat pesan BBM dari Ko Han tadi pagi beserta gambar
dirinya bersama Ko Han pada waktu itu. Jarinya bergerak menghapus pesan
dan foto tadi. Pintu gerbang dari besi itu terbuka. Sesosok laki-laki
keluar. Doni berlari mendekati Lindia. Keduanya berpelukan erat. Lindia
menangis bahagia merasakan tubuh Doni kembali dalam pelukannya. Ia
menciumi wajah Doni. Doni mengusap rambut Lindia, sambil menatapnya
dalam.
“Happy Valentine Lin…” Doni mencium kening Lindia.
“Happy 1st anniversary Don…” Lindia mencium bibir Doni.
Belum ada tanggapan untuk "KISAH LINDIA"
Posting Komentar