CERITA DEWASA | CERITA MESUM | CERITA SEX | CERITA PORNO | FOTO PORNO
Pēngalaman pērtamaku inilah yang mēmbawaku kadang-kadang ingin mēnikmati
kēmbali, tapi hingga kini aku bēlum mēnēmukan pēngganti Aniēku sayang,
Aniēku yang hilang.
Pada waktu itu kami mēnēmpati kontrakan bērsama adikku yang sēdang
kuliah di kota S. Aku sēndiri sudah bēkērja apa adanya sambil kuliah di
pērguruan tinggi swasta pada sorē harinya. Kami mēmpunyai tētangga, yang
biasa dipanggil Bu Aniē, namun atas kēsēpakatan bērsama, aku mēmanggil
Bu Aniē dēngan sēbutan Mbak, karēna dia lēbih muda, dan dia mēmanggilku
Mas, tapi kalau didēpan banyak orang aku tētap mēmanggilnya Bu!, dan dia
mēmanggilku Om Fēby, mēnirukan panggilan anak-anak. Mbak Aniē orangnya
masih muda cantik dan seksi, walaupun sudah mēmpunyai sēorang anak.
Waktu itu anaknya ikut di rumah nēnēknya sēhingga Mbak Aniē hanya
tinggal bērdua dēngan suaminya yang sēring dinas di luar kota.
Suatu hari Mbak Aniē mēmintaku mēngajari komputēr karēna alasan dia
sēdang ikut kursus untuk bēkal bēkērja (Mbak Aniē sēdang mēlamar di
Pērusahaan Swasta) dan sēbēntar lagi ada ujian komputēr. Aku
mēnyanggupinya tapi hanya pada saat aku tidak ada kēgiatan kuliah.
Hari pērtama Mbak Aniē bēlajar komputēr tidak ada yang pērlu
dicēritakan, namun pada hari-hari bērikutnya tērjadilah cērita-cērita
ērotis ini. Saat itu Mbak Aniē sēdang mēncoba bēlajar ēxcēl, aku duduk
di kursi tamu yang jaraknya kira-kira 3 mētēr dari jarak mēja komputēr.
“Mbak.., kapan ujiannya”, tanyaku.
“Bēsok!, Mas!, sini dong..
“Ada apa Mbak”, sahutku.
“Ini lho, cara ngasih blok ini gimana toch?
“Ochh.., itu toch, gini klik mousē kiri tēkan tērus dan gēsēr sampai
cēll yang dikēhēndaki kēmudian lēpaskan”, bēgitu kataku sambil
mēmbērikan contoh.
Sēlanjutnya Mbak Aniē sēgēra mēncoba dan bērkali-kali gagal. Aku
mēmbimbing dēngan mēmēgang tangan Mbak Aniē, tangan Mbak Aniē mēmēgang
mousē sēmēntara tanganku di atas tangannya. Tanpa tērasa pērutku
mēnēmpēl di bahu Mbak Aniē. Aku lihat tidak ada pērubahan apapun di
wajah Mbak Aniē dan akupun pura-pura tidak tahu. Agar lēbih lēluasa aku
ambil kursi dan duduk di sēbēlahnya. Sambil mēngajar, kēdua tanganku
ikut main, tangan kanan mainkan mousē dan tangan kiri mēmēgang pantat
Mbak Aniē. Mēlihat tidak ada rēaksi dari Mbak Aniē, aku mulai bērani
lēbih jauh, tanganku mulai mēraba pinggangnya. Ia diam saja. Sambil
mērēmas-rēmas pinggangnya, aku mēndēkatkan hidungku kē tēngkuknya.
Sampai akhirnya hidungku menempel di belakang telinga kanannya.
Sementara tanganku mulai merayap naik dari pinggangnya. Jari-jemariku
menyusupkan ke dalam celah di bawah kemeja pendeknya, memberikan
kehangatan pada pinggang dan perutnya yang langsing dan kencang, terus
perlahan-lahan merayap ke atas. Mbak Aniek menarik nafas dalam-dalam
hingga kedua bukit di dadanya makin membusung dan memenuhi kemeja
ketatnya pada saat itu pula, tangan kananku tiba di bukit halus di dada
kanannya, mengusap, memijit, dan meremas pelan, membuat nafas Mbak Anie
kian memburu, ia memutar wajahnya ke kanan.
“Uhh..n Mass jangan!”, desahnya.
“Kenapa Mbak, mumpung sepi, nggak ada yang lihat”.
“Jangan ach, saru.., aku pulang dulu yach”, kata Mbak Anie sambil membereskan buku excel yang dibawanya.
“Mbak, boleh nggak, kalau aku minta punyanya Mbak Anie?”.
“Minta apa..”, tanyanya penasaran.
“Aku ingin merasakan punya Mbak Anie, kalau boleh Mbak ke sini hari Rabu, kira-kira jam 10.00 pagi, Kutunggu”.
Aku sengaja memilih jam tersebut, karena saat-saat seperti itu di
lingkungan kami relatif sepi, karena ditinggal sekolah anak-anak,
sementara ibu-ibu sibuk di dapur. Tak ada jawaban dari bibirnya yang
aduhai, maka kuulangi lagi.
“Bagaimana Mbak?”.
“Ach.., Aku pulang dulu yach”, hanya itu jawaban darinya.
Hari Rabu yang kutunggu datang juga, aku minta ijin pada boss
seolah-olah ada keperluan keluarga. Hatiku rasanya berdebar-debar
menunggu kedatangan Mbak Anie, ada rasa was-was kalau ternyata yang
ditunggu-tunggu ternyata tidak datang. Berkali-kali aku lihat keluar,
dia belum juga keluar dari rumahnya. Kulihat lagi.., uch dia keluar,
hatiku berdebar, jantungku berdetak lebih cepat, semakin dekat jarak
kami rasanya detak jantung ini makin cepat pula.
“Masuk Mbak”, bisikku mempersilakan.
“Mass, aaku geemetaar”.
“aakuu juga”, sambil kutarik tangan Mbak Anie ke kamarku.
“Mass”.
Tiba-tiba kata-katanya terhenti dan nafasnya tertahan, saat kupeluk
dan kuciumi lehernya yang jenjang itu. Dan selang beberapa detik kamipun
tenggelam dalam ciuman yang sangat bernafsu itu beberapa menit. Dan
tangankupun mulai menggerayangi seluruh tubuhnya. Sambil berdiri kami
berdua masih saling melumat dan tangankupun mulai menggerayangi dari
leher, ke bahu dan pada akhirnya bertumpu di dua gunung kembar milik
Mbak Anie.
Kini jari-jariku telah menemukan puting kecil di puncak bukit kenyal
di dada kanannya dan mulai mengusap-usapnya. Ibu jariku mengusap puting
dadanya yang kanan, sementara jari tengah aku melakukan hal yang serupa
di dadanya yang kiri. Tangan kiriku membuka kancing dan ritsluiting
celana kulotnya, menyusup ke dalam, menemukan rambut-rambut ikal.
Mbak Anie memejamkan matanya dan menahan nafas, ekspresinya
menunjukkan rasa geli dan birahi. Secara refleks, tangannya membuka
kancing-kancing kemejanya, hingga dua bukit yang dari tadi berdesakan
dalam ruang sempit itu terbebas. Indah sekali, aku dapat melihat bahwa
ibu jari dan jari tengah tangan kananku kini sedang memijit-mijit dua
buah puting yang tegang, berwarna coklat muda.
Kemejanya tersingkap di sebelah kanan, menunjukkan pundak yang sangat
halus dan indah, aku langsung mengoleskan lidahku di situ berkali-kali.
Tangan kiriku terus menggali ke dalam rambut-rambut ikat itu hingga
celana Mbak Anie merosot sedikit demi sedikit dan akhirnya jatuh di
bawah kakinya. Jari tengah tangan kiriku pun langsung menyentuh sesuatu
yang hangat dan lembab, mengusapnya, menjentik-jentikkannya.
Membuat tubuh Mbak Anie yang cukup jangkung itu bergetar, sulit
berdiri tegak, kakinya goyah, dadanya naik turun mengikuti nafasnya yang
terengah, keringat membasahi keningnya, dan sesuatu mulai membasahi
jari tangan kiriku di tengah selangkangannya, berdirinya semakin goyah,
tangan tangan dan mulutku makin giat bekerja, tungkai indahnya makin
gemetar.
“Ohh.., Mass.., ohh.., aku nggak tahan geli”, rintihnya sambil terengah.
Aku segera menelentangkan tubuhnya di atas ranjang. Kuulangi
menghisap putingnya bergantian. Tangan kananku menggosok-gosok
vaginanya. Kuciumi, kujilati dan kuhisap-hisap semua bagian yang menurut
instingku bisa membangkitkan gairahnya. Bibir, lidah, telinga, kuping
leher, dada, perut, pusar, paha, vagina, betis sampai ke jari dan
telapak kakinya. Tubuh Mbak Anie bergelinjangan tak karuan dadanya
naik-turun kelojotan.
Mulutku naik lagi ke atas menyusuri betis dan paha hingga akhirnya
berhenti di vaginanya. Dengan kedua tanganku kusibak pelan bulu
vaginanya. Kulihat belahan vaginanya yang memerah berkilat dan bagian
dalamnya ada yang berdenyut-denyut. Kuciumi dengan lembut, bau vaginanya
membuat sensasi yang aneh. Dengan hidung kugesek-gesek belahan vagina
Mbak Anie sambil menikmati aroma bahunya. Erangan dan gelinjangan
tubuhnya terlihat seperti pemandangan yang indah menggairahkan.
“aahhk.., eekhh.., nikmat sekali Mass, Teruuss”, rintih Mbak Anie.
Kujulurkan lidahku, kujilat sedikit vaginanya, ada rasa asin. Lalu
dari bawah sampai atas kujulurkan lidahku menjilati belahan vaginanya.
Begitu seterusnya naik turun sambil melihat reaksi Mbak Anie.
“Akkhh.., akkhh.., akkhh.., ngghh”, Mbak Anie terus merintih nikmat,
tangannya mencari tangan kananku, meremas-remas jariku lalu membawanya
ke payudaranya. Aku tahu dia ingin yang meremas payudaranya adalah
tanganku. Begitu kulakukan terus, tangan kananku meremas payudaranya,
mulutku menjilati dan menghisap-hisap, menyedot vaginanya, sementara
tangan kiriku menyentik-nyentik clitorisnya. Diapun
bergelinjang-gelinjang kenikmatan.
“Mass aduuh.., enaak sekalii”, erang Mbak Anie.
“Ngghh.., ngghh..”, Aku hanya bisa mendesah, kakinya yang tadinya belum
terbuka lebar, tanpa dia sadari dia telah merenggangkan kedua pahanya
sambil kakinya ditekuk. Maka semakin lebar kemaluannya terbuka aku
semakin leluasa memainkan vaginanya.
Setelah menyedot bibir vagina milik Mbak Anie, lalu aku mulai
menjulurkan lidahku ke dalam vaginanya yang mulai basah itu. Kujilati
clitoris milik Mbak Anie yang merah itu, terkadang lidahku kujulurkan
masuk ke dalam lubang vaginanya. Diapun mendesah terus menerus, “aacch,
oocchh, aacchh, oocchh”. Mendengar desahan Mbak Anie aku semakin
beringas menjilatinya hingga vaginanya basah.
“Mass.., ngghh..”, Mbak Anie mendesah sambil tangannya menggapai mencari-cari penisku.
Aku bangkit dan kuletakkan penisku di lembah diantara dua bukit yang
kenyal itu, lalu kugesek-gesekkan penisku, sementara Mbak Anie
menggeliat-liat sambil tangannya ikut mengusap-usap kepala penisku.
“Mass.., ngghh..”, desah Mbak Anie.
Tangannya menarik penisku, sementara lidahnya menjilat-jilat bibirnya
yang sensual. Kusorongkan penisku ke bibir Mbak Anie, Dia mulai
mengelus-elus, menjilati dari kantung yang berisikan dua biji pelir
hingga sampai pada kepala penisku. Setelah puas dia menjilati lalu dia
memasukan penisku ke mulutnya, menghisap dan mengocok-ngocok dengan
mulutnya seirama dengan desahan Mbak Anie.
Lama sekali dia mempermaikan penisku hingga aku secara tidak sadar
menggeliat-geliat sambil mendesah, “Ooohh, oohh, yaacch, yaacch”.
Aku sudah tidak tahan, penisku yang sedang di kulum-kulum di mulut
Mbak Anie, kucabut. Aku mengangkat kedua tungkainya, meletakkannya di
bahuku, dan pelahan-lahan dengan hati-hati kupegang penisku dan
kugesek-gesekkan di belahan bibir vaginanya beberapa kali, kemudian
kutekan ke dalam dan.., “Bleess”, penisku memasuki vaginanya dan segera
kusodokkan dalam-dalam dengan kencang.
“Aduuhh..”, Mbak Anie menjerit pelan.
“Sakit Mbak..”, tanyaku dan Mbak Anie kulihat hanya menggelengkan
kepalanya sedikit dan ketika dia menciumi di sekitar telingaku kudengar
dia malah berbisik, “enaak.., Maas”.
Kuciumi wajahnya dan sesekali kuhisap bibirnya sambil kumulai
menggerakkan pantatku naik turun pelan-pelan, dan makin lama semakin
cepat. Tangan Mbak Anie mencengkeram dan menekan pantatku. Wajahnya
tampak memelas, matanya terkatup rapat, bibir tipisnya terbuka, namun
giginya terkatup, keringat membasahi sekujur tubuhnya yang kini bergerak
terkocok dalam kecepatan tinggi.
Aku merasakan jepitan vaginanya sungguh luar biasa. Begitu lembab,
lengket, licin, namun ketat mencengkeram mengurut-ngurut kejantananku.
Ia pun merasakan nikmat yang luar biasa, vaginanya terjejali dengan
benda yang keras dan hangat dengan ukuran yang tepat, menggesek dinding
liang vaginanya, tiap gesekan makin membuatnya melayang-layang.
Aku menurunkan kaki kanannya dari bahu kiriku, dan memutar tubuhnya
ke kiri, sehingga posisi kami jadi menyilang, penisku kini menyentuh
bagian yang lebih dalam dari vaginanya. Mbak Anie kian histeris,
menggeliat-geliat, punggungnya terangkat-angkat dari kasur, matanya
terpejam makin rapat, dan mulutnya mendesis, mengerang, dan mengaduh
tidak menentu. Tangan kanannya kini memegangi tanganku yang sedang
mencengkeram pinggulnya.
Aku membungkukkan badan dan mulutku menangkap puting kanan Mbak Anie,
mengolesinya dengan lidahku, menghisap-hisapnya, namun puting itu tidak
dapat menjadi lebih tegang lagi karena sudah begitu tegang. Tubuh kami
terus saling berhempasan, penisku terasa menyodok-nyodok ujung liang
vaginanya. Sampai tiba-tiba kedua tangannya mencengkeram sprei, wajahnya
meringis, dan tubuhnya meregang sampai punggungnya terangkat tinggi
dari ranjang, “Ugghh.., Massh.., ohh”, rintihnya.
Beberapa detik tubuhnya meregang seperti itu, otot-otot vaginanya
terasa kuat sekali menggenggam penisku, lalu tiba-tiba tubuh langsingnya
terkulai lunglai, seperti tak berenergi.
“Mbak Anie, bisa tahan sebentar saja?”, tanyaku.
Ia mengangguk lemah sambil tetap lunglai seperti orang mau pingsan.
Aku segera dengan cepat mengocokkan penisku, kutekankan dalam-dalam, dan
kutarik dengan cepat, begitu terus. Hingga ekspresi Mbak Anie
menunjukkan rasa ngilu kesakitan, namun ia diam saja, membiarkanku
mencapai klimaks. Dan akhirnya, aku merasa sesuatu keluar dari penisku,
“crott.., crott.., crott.., ach”.
Aku mencabut penisku dari vagina Mbak Anie dan berbaring di
sampingnya. Mendekapnya, memeluknya. Ia pun memelukku dengan mesra,
seolah kami merupakan suami istri yang saling memiliki.
Sejak kejadian itu kami jarang ketemu apalagi ngobrol, karena Mbak
Anie sudah lulus kursus, apalagi setelah Mbak Anie mulai kerja,
sementara aku disibukkan dengan urusan kuliah dan pekerjaan, praktis
kami tidak sempat ketemu lagi.
Pengalamanku dengan Mbak Anie membuat aku sering tergoda jika melihat
ibu-ibu seksi. Aku ingin pengalamanku terulang, tapi tidak bisa. Mbak
Anie sudah pindah menempati rumah sendiri bersama suaminya yang
kebetulan belum ada jaringan telepon. Aku ingin nekat ke rumahnya, namun
tidak berani, malu kalau tidak ada alasan yang jelas.
Suatu saat tanpa diduga aku bertemu dengan suami Mbak Anie, kami
ngobrol dan dengan basa-basi kutanyakan apa sudah ada jaringan telepon
di rumahnya, ternyata sudah ada dan di rumahnya juga sudah dipasang.
Dengan berbekal nomor yang dikasihkan, aku mencoba menghubungi Mbak
Anie, berdebar juga rasanya jantung ini.
“Halloo”, terdengar suara yang sudah saya kenal baik itu.
“Ini Mbak Anie, yaa?”, tanyaku.
“Och.., Mas Feby toch”, sahut Mbak Anie dengan nadanya yang renyah.
Kami ngobrol lama, aku gunakan kesempatan ini untuk membangkitkan
kenangan masa lalu. Aku rayu dia, supaya sewaktu-waktu ada kesempatan
kami bisa mengulang masa laku kami. Namun sayang Mbak Anie mengaku sudah
insaf dan dulu merupakan kekhilafan yang jangan sampai diulang.
Akhirnya aku menyerah, tapi sudah kepalang basah, aku menceritakan terus
terang dan minta tolong pada Mbak Anie.
“Mbak, kalau toch Mbak Anie nggak mau lagi, baiklah nggak apa-apa, tapi aku minta tolong.., tolong bantu aku Mbak!
“Apa yang bisa ku bantu Mass!
“Begini Mbak.., terus terang sejak kejadian itu, aku sering melamun dan
sering tergoda jika melihat ibu-ibu yang kelihatan seksi, aku akhirnya
hanya bisa menahan dan kalau toch terpaksa kuambil sabun dan main
sendiri
Mbak tolonglah aku.., jika Mbak punya kenalan yang kebetulan kesepian
dan menginginkan kenikmatan, kenalkan padaku yaach, aku ingin
memberikan kenikmatan seperti yang pernah aku berikan kepada Mbak Anie”.
“Mas, kok jadi begini.., tapi yach, akan aku usahakan, tapi aku nggak berani menjanjikan lho!
Sampai sekarang Mbak Anie tidak pernah memberi kabar. Aku juga tahu
diri mungkin Mbak Anie tidak setuju apa yang akan aku perbuat, sehingga
dia tidak pernah memberi kabar apapun. Akhirnya akupun sampai sekarang
tidak pernah menghubungi lagi Mbak Anie. Aku menganggap Mbak Anieku
hilang, yah Mbak Anieku sayang, Mbak Anieku yang hilang. Namun aku masih
tetap mengharap menemukan Mbak Anie yang lain.
Belum ada tanggapan untuk "ANIEKU SAYANG"
Posting Komentar