CERITA DEWASA | CERITA MESUM | CERITA SEX | CERITA PORNO | FOTO PORNO\
Cerita kali ini akan menumpahkan sebuah kisah hubungan seorang mahasiswa
yang berhasil menyetubuhi dosennya yang cantik dan genit. Sebut saja
namaku Rudi. Aku adalah mahasiswa tingkat akhir di sebuah universitas di
Surabaya. Di kampus aku mempunyai seorang dosen yang cantik dan lembut.
Namanya Bu Via. Berkenaan dengan Bu Via, ada sesuatu yang membuat
kehidupanku lebih indah dan menyenangkan selama hampir tiga bulan ini.
Bermula pada suatu siang ketika aku melakukan bimbingan suatu tugas
akhir. Di jurusanku sebelum masuk ke skripsi, seorang mahasiswa harus
mengambil tugas akhir mengerjakan sebuah desain. Bu Via adalah
pembimbingku untuk tugas tersebut. Bimbingan berlangsung singkat saja,
karena Bu Via ada tugas lain di luar kampus saat itu. Ketika selesai, Bu
Via bilang padaku agar datang ke rumahnya saja pada malam harinya untuk
melanjutkan bimbingan. Malamnya aku datang. Rumahnya ada di sebuah
kompleks perumahan yang sepi dan tenang.
Bu Via sudah bercerai dari suaminya. Ia berumur sekitar 37 tahun,
dengan seorang anak yang masih bersekolah TK. Meskipun sudah berumur 37
tahun, namun Bu Via masih kelihatan seperti baru lepas ABG saja.
Kulitnya putih, bersih dan segar. Bodinya langsing, meskipun tidak
terlalu tinggi. Pada kaki dan tangannya ditumbuhi bulu-bulu halus, tapi
cukup lebat, yang kontras dengan kulitnya yang putih itu.
Saat itu merupakan liburan TK- SD dan anaknya sedang berlibur di
rumah sepupunya yang seumur dengan dia. Aku dan Bu Via sebenarnya memang
sudah cukup akrab. Dia pernah menjadi dosen waliku dan beberapa kali
aku pernah datang ke rumahnya, sehingga aku tidak canggung lagi. Apalagi
dalam banyak hal selera kami sama, misalnya soal selera musik. Setelah
bimbingan selesai, kami hanya mengobrol ringan saja.
Kemudian Bu Via minta tolong padaku. “Rud, slot lemari pakaian di
kamarku rusak, bisa minta tolong diperbaiki?”, begitu katanya malam itu.
Kemudian aku dibawa naik ke lantai dua, ke kamarnya. Kamarnya wangi.
Penataan interiornya juga indah. Kurasa wajar saja, sejak semula aku
tahu ia punya selera yang bagus. Itu pula yang membuat kami akrab, kami
juga sering memperbincangkan soal-soal seperti itu, selain soal-soal
yang berkaitan dengan kampus.
Aku tersenyum ketika melihat sebagian isi lemari pakaiannya.
Lingerie-nya didominasi warna hitam. Aku juga menyukai warna seperti
itu. Warna seperti itu sering pula kusarankan pada Kiki cewekku untuk
dipakainya, karena dengan pakaian dalam seperti itu membuatku lebih
bergairah. Bu Via hanya tersenyum melihatku “terkesan” menyaksikan
tumpukan lingerie-nya. Dengan serius kuperbaiki slot pintu lemarinya
yang rusak. Ia keluar meninggalkanku sendirian di kamarnya.
Sesaat kemudian pekerjaanku selesai. Saat itu Bu Via masuk. Tiba-tiba
tanpa kusangka, ia melap peluh di dahiku dengan lembut. AC di kamarnya
memang dimatikan, sehingga udara gerah. “Panas Rud? Biar AC-nya
kuhidpkan”, begitu katanya sambil menghidupkan AC. Saat kekagetanku
belum hilang, ia kembali melap keringat di dahiku. Dan kali ini bahkan
dengan lembut ia mendekatkan wajahnya ke wajahku. Segera aku menyambar
aroma wangi dari tubuhnya hingga membuat jantungku berdetak tidak
seperti biasanya.
Bahkan kemudian ia melanjutkan membuat detak jantungku semakin
kencang dengan mendekatkan bibirnya ke bibirku. Sesaat kemudian kusadari
bibirnya dengan lembut telah melumat bibirku. Kedua tangannya
dilingkarkan ke leherku dan semakin dalam pula aroma wangi tubuhnya
terhirup napasku, yang bersama tindakannya melumat bibirku, kemudian
mengalir dalam urat darahku sebagai sebuah sensasi yang indah. Ia terus
melumat bibirku. Lalu tangannya pelan- pelan membuka satu persatu
kancing kemejaku. Saat itu aku mulai mampu menguasai diriku. Maka dengan
pelan-pelan pula kubuka kancing blusnya.
Setelah kemejaku lepas, ia menarik resliting jeansku. Begitu pula
yang kulakukan dnegan roknya, kutarik resliting yang mengunci rokya.
Kemudian ia melepaskan bibirnya dari bibirku dan membuka matanya. Saat
itu aku terbelalak melihat keindahan yang ada di depan mata. Payudaranya
sedang-sedang saja, tapi indah dan terlihat kencang dibungkus bra hitam
bepotongan pendek berenda yang membuat barang indah itu tampak semakin
indah.
Payudaranya seolah “hanging wall” yang mengundang seorang climber
untuk menaklukkannya dengan hasrat yang paling liar. Dan menengok ke
bawah, aku semakin dibuat terkesan serta jantungku juga semakin berdetak
kencang. Di balik celana dalam dengan potongan yang pendek yang juga
berwarna hitam berenda yang indah, tersembul bukit venus yang
menggairahkan. Di tepi renda celana itu, tampak rambut yang menyembul
indah melengkapi keindahan yang sudah ada.
Kulihat Bu Via juga tersenyum menatap lonjoran tegang di balik celana
dalamku. Tangannya yang lembut mengelus pelan lonjoran itu. Sensasi
yang menjelajahi aliran darahku kemudian menggerakkan tanganku mengelus
bukit venusnya. Ia tampak memejam sesaat dengan erangan yang pelan
ketika tanganku menyentuh daging kecil di tengah bukit venus itu. Ia
kemudian melanjutkan tindakannya melumat bibirku dengan lembut. Bibirnya
yang lembut serta napasnya yang wangi kembali membuatku dialiri sensasi
yang memabukkan.
Ia rupanya memang sabar dan tidak terburu-buru untuk segera menuju ke
puncak kenikmatan. Bibirnya kemudian ia lepaskan dari bibirku dan ia
menyelusuri leherku dengan bibirnya. Napasnya membelai kulit leherku
sehingga terasa geli namun nikmat. Kadang-kadang ia mengginggit leherku
namun rupanya ia tidak ingin meninggalkan bekas. Ia tahu bahwa aku punya
pacar, karena belum lama, Kiki kuperkenalkan padanya saat kami bertemu
di sebuah toko buku. Ia kemudian turun ke dadaku dan mempermainkan
puting susuku dengan mulutnya, yang membuat aliran darahku dialiri
perasaan geli tapi nikmat.
Semakin ke bawah ia diam sesaat menatap batang yang tersembunyi di
balik celana dalamku, yang waktu itu juga berwarna hitam. Sesaat ia
mempermainkannya dari luar. Ia kemudian dengan lembut menarik celana
dalamku. Ia tersenyum ketika menyaksikan penisku yang tegak dan kencang,
seperti mercu suar yang siap memandu pelayaran gairah libido
kewanitaannya. Dengan lembut ia kemudian mengulum penisku. Maka aliran
hangat yang bermula dari permukaan syaraf penisku pelan-pelan menyusuri
aliran darah menuju ke otakku.
Aku serasa diterbangkan ke awan pada ketinggian tak terukur. Bu Via
terus mempermainkan lonjoran daging kenyal penisku itu dengan kelembutan
yang menerbangkanku ke awang-awang. Caranya mempermainkan barang
kejantananku itu sangat berbeda dengan Kiki cewekku. Kiki melakukannya
dengan ganas dan panas, sedangkan Bu Via sangat lembut seolah tak ingin
melewatkan seluruh bagian syaraf yang ada di situ. Cukup lama Bu Via
melakukan itu.
Ketika perjalananku ke awang-awang kurasakan cukup, kutarik penisku
dari dekapan mulut lembutnya. Giliran aku yang ingin membuat dia terbang
ke awang awang. Maka kubuka bra yang menutupi payudara indahnya.
Semakin terperangahlah aku dengan keindahan yang ada di depan mataku. Di
depanku bediri dengan tegak bukit kembar yang indah sekaligus
menggairahkan. Di sekitar puncak bukit itu, di sekitar putingnya yang
merah kecoklatan, tumbuh bulu-bulu halus. Menambah keindahan buah
dadnya.
Tapi aku tidak memulainya dari situ. Aku hanya mengelus putingnya
sebentar. Itupun aku sudah menangkap desah halus yang keluar dari bibir
indahnya. Kumulai dari lehernya. Kulit lehernya yang halus licin seperti
porselen dan wangi kususuri dengan bibirku yang hangat. Ia mendesah
terpatah-patah. Apalagi ketika tanganku tak kubiarkan menganggur.
Jari-jariku memijit lembut bukit kenyal di dadanya dan kadang- kadang
kupelintir pelan puting merah kecoklat- coklatan yang tumbuh matang di
ujung buah dadanya itu. Kurasakan semakin lama puting itu pun semakin
keras dan kencang.
Setelah puas menyusuri lehernya, aku turun ke dadanya. Dan segera
kulahap puting yang menonjol merah coklat itu. Ia menjerit pelan. Tapi
tak kubiarkan jeritannya berhenti. Kusedot puting itu dengan lembut. Ya,
dengan lembut karena aku yakin gaya seperti itulah yang diinginkan
orang seperti Bu Via. Mulutku seperti lebah yang menghisap kemudian
terbang berpindah ke buah dada satunya. Tapi tak kubirakan buah dada
yang tidak kunikmati dengan mulutku, tak tergarap. Maka tangankulah yang
melakukannya. Kulakukan itu berganti-ganti dari buah dada satu ke buah
dadanya yang lain.
Setelah puas aku turun bukit dan kususuri setiap jengkal kulit
wanginya. Dan saat aku semakin turun kucium aroma yang khas dari barang
pribadi seorang perempuan. Aroma dari vaginanya. Semakin besarlah gairah
yang mengalir ke otakku. Tapi aku tidak ingin langsung menuju ke
sasaran. Cara Bu Via membuatku melayang rupanya mempengaruhiku untuk
tenang, sabar dan pelan-pelan juga membawanya naik ke awang- awang. Maka
dari luar celana dalamnya, kunikmati lekuk bukit dan danau yang ada di
situ dengan lidah, bibir dan kadang-kadang jari- jemariku.
Kusedot dengan nikmat bau khas yang keluar dari sumur yang ada di
situ. Setelah cukup puas, baru kutarik celana dalamnya pelan-pelan. Aku
tersentak menyaksikan apa yang kulihat. Bukit venus yang indah itu
ditumbuhi rambut yang lebat. Tapi terkesan bahwa yang ada di situ
terawat. Meski lebat, rambut yang tumbuh di situ tidak acak- acakan tapi
merunduk indah mengikuti kontur bukit venus itu. Walaupun aku pernah
membayangkan apa yang tumbuh di situ, tapi aku tidak mengira seindah
itu. Ya, aku dan teman-temanku sering bergurau begini saat melihat Bu
Via, jika rambut di tempat yang terbuka saja subur, apalagi rambut di
tempat yang tersembunyi.
Dan ternyata aku bisa membuktikan gurauan itu. Ternyata rambut di
tempat itu memang luar biasa. Bahkan aku yang semula berpikir rambut
yang menghiasai vagina Kiki luar biasa karena subur dan indah, kemudian
menerima kenyataan bahwa ada yang lebih indah, yaitu milik Bu Via ini.
Dari samping keadaan itu seperti taman gantung Raja Nebukadnezar saja
:-).
Segera berkelebat pikiran dalam otakku, betapa menyenangkannya
tersesat di hutan teduh dan indah itu. Maka aku segera menenggelamkan
diri di tempat itu, di hutan itu. Lidahku segera menyusuri taman indah
itu dan kemudian melanjutkannya pada sumur di bawahnya. Maka Bu Via
menjerit kecil ketika lidahku menancap di lubang sumur itu. Di lubang
vaginanya. Bau khas vagina yang keluar dari lubang itu semakin
melambungkan gairahku. Dan jeritan kecil itu kemudian di susul jeritan
dan erangan patah-patah yang terus menerus serta gerakan-gerakan serupa
cacing kepanasan.
Dan kurasa ia memang kepanasan oleh gairah yang membakarnya. Aku
menikmati jeritan itu sebagai sensasi lain yang membuatku semakin
bergairah pula menguras kenikmatan di lubang sumur vaginanya. Lendir
hangat khas yang keluar dari dinding vaginanya terasa hangat pula di
lidahku. Kadang-kadang kutancapkan pula lidahku di tonjolan kecil di
atas lubang vaginanya. Di klitorisnya. Maka semakin santerlah
erangan-erangan Bu Via yang mengikuti gerakan-gerakan menggelinjang.
Demikian kulakukan hal itu sekian lama.
Kemudian pada suatu saat ia berusaha membebaskan vaginanya dari
sergapan mulutku. Ia menarik sebuah bangku rias kecil yang tadi menjadi
ganjal kakinya untuk mengangkang. Aku dimintanya duduk di bangku itu.
Begitu aku duduk, ia kembali memagut penisku dengan mulutnya secara
lembut. Tapi itu tidak lama, karena ia kemudian memegang penisku yang
sudah tidak sabar mencari pasangannya itu.
Bu Via membimbing daging kenyal yang melonjor tegang dan keras itu
masuk ke dalam vaginanya dan ia duduk di atas pangkuanku. Maka begitu
penisku amblas ke dalam vaginanya, terdengar jeritan kecil yang menandai
kenikmatan yang ia dapatkan. Aku juga merasakan kehangatan mengalir
mulai ujung penisku dan mengalir ke setiap aliran darah. Ia memegangi
pundakku dan menggerakkan pinggulnya yang indah dengan gerakan serupa
spiral.
Naik turun dan memutar dengan pelan tapi bertenaga. Suara gesekan
pemukaan penisku dengan selaput lendir vaginanya menimbulkan suara
kerenyit-kerenyit yang indah sehingga menimbukan sensasi tambahan ke
otakku. Demikian juga dengan gesekan rambut kemaluannya yang lebat
dengan rambut kemaluanku yang juga lebat. Suara-suara erangan dan
desahan napasnya yang terpatah-patah, suara gesekan penis dan selaput
lendir vaginanya serta suara gesekan rambut kemaluan kami berbaur dengan
suara lagu mistis Sarah Brightman dari CD yang diputarnya.
Barangkali ia memang sengaja ingin mengiringi permainan cinta kami
dengan lagu-lagu seperti itu. Ia tahu aku menyukai musik demikian. Dan
memang terasa luar biasa indah, pada suasana seperti itu. Apalagi lampu
di kamar itu juga remang-remang setelah Bu Via tadi mematikan lampu yang
terang. Dengan suasana seperti itu, rasanya aku tidak ingin membiarkan
setiap hal yang menimbulkan kenikmatan menjadi sia- sia.
Maka aku tidak membiarkan payudaranya yang ikut bergerak sesuai
dengan gerakan tubuhnya menggodaku begitu saja. Kulahap buah dadanya
itu. Semakin lengkaplah jeritannya. Matanya yang terpejam kadang-kadang
terbuka dan tampak sorot mata yang aku hapal seperti sorot yang keluar
dari mata Kiki saat bercinta denganku. Sorot matanya seperti itu. Sorot
mata nikmat yang membungkus perasaannya.
Sekian lama kemudian ia menjerit panjang sambil meracau.. “Ah.. Aku..
Aku orgasme, Rud!” Sesaat ia terdiam sambil menengadahkan wajahnya ke
atas, tapi matanya masih terpejam. Kemudian ia melanjutkan gerakannya.
Barangkali ia ingin mengulanginya dan aku tidak keberatan karena aku
sama sekali belum merasakan akan sampai ke puncak kenikmatan itu. Sebisa
mungkin aku juga menggoyangkan pinggulku agar dia merasakan kenikmatan
yang maksimal.
Jika tanganku tidak aktif di buah dadanya, kususupkan di
selangkangannya dan mencari daging kecil di atas lubang vaginanya, yang
dipenuhi oleh penisku. Meskipun Bu via seorang janda dan sudah punya
anak, aku merasa lubang vaginanya, seperti seorang ABG saja. Tetap rapat
dan singset. Otot vaginanya seakan mencengkeram dengan kuat otot
penisku. Maka gerakan pinggulnya untuk menaik turunkan bukit venus
vaginanya menimbulkan kenikmatan yang luar biasa.
Dan sejauh ini aku tidak merasakan tanda-tanda lahar panasku akan
meledak. Bu Via memang luar biasa, ia seperti tahu menjaga tempo
permainannya agar aku bisa mengikuti caranya bermain. Ia seperti tahu
menjaga tempo agar aku tidak cepat-cepat meledak. Memang sama sekali
tidak ada gerakan liar. Yang dilakukannya adalah gerakan-gerakan lembut,
tapi justru menimbulkan kenikmatan yang luar biasa, terutama karena aku
jarang bercinta dengan perempuan lembut seperti itu. Sekian lama
kemudian aku mendengar lagi ia meracau.. “Ah.. Ah.. Ini yang kedua..
Rud, aku orgasme.. Uhh!” Di susul jeritan panjang melepas kenikmatan
itu.
Tapi kemudian ia memintaku mengangkatnya ke ranjang, tanpa melepaskan
penisku yang masih menancap di lubang vaginanya. Ia memintaku
menidurkannya di ranjang tapi tak ingin melepaskan vaginanya dari
penisku, yang sejauh ini seperti mendekap sangat erat. Kulakukan
pemintaannya itu. Maka begitu ia telentang di ranjang, aku masih ada di
atasnya. Penisku pun masih masuk penuh di dalam vaginanya. Kami
melanjutkan permainan cinta yang lembut tapi panas itu.
Kini aku berada di atas, maka aku lebih bebas bermanuver. Maka dengan
gerakan seperti yang sering kulakukan jika aku berhubungan seks dengan
Kiki, cepat dan bertenaga, kulakukan juga hal itu pada Bu Via. Tapi
sesaat kemudian ia berbisik dengan mata yang masih terpejam..
“Pelan-pelan saja, Rud. Aku masih ingin orgasme”. Aku tersadar apa yang
telah kulakukan. Maka kini gerakanku pelan dan lembut seperti permintaan
Bu Via. Kini erangan dan desahan patah-patahnya kembali terdengar.
Ia menarik punggungku agar aku lebih dekat ke badannya. Aku maklum.
Tentu ia ingin mendapatkan kenikmatan yang maksimal dari gesekan-
gesekan bagian tubuh kami yang lain. Dan Bu Via memang benar, begitu
dadaku bergesekan dengan buah dadanya, semakin besarlah sensasi
kenikmatan yang kudapat. Kurasa demikian juga dengannya, karena
jeritannya berubah semakin santer. Apalagi saat aku juga melumat bibir
merahnya yang menganga, seperti bibir vaginanya sebelum aku menusukkan
penisku di situ.
Meskipun jeritannya agak bekurang karena kini mulutnya sibuk saling
melumat bersama mulutku, tapi aku semakin sering mendengar ia mengerang
dan terengah-engah kenikmatan. Hingga beberapa saat kemudian aku
mendengar ia meracau seperti sebelumnya.. “Aku.. Ah.. Aku.. Uh.. Yang
ketiga.. Aku orgasme, Rud.. Ahh” Setelah jeritan panjang itu, matanya
terbuka. Tampak sorot matanya puas dan gembira. Kemudian ia berbisik
terengah- engah.. “Aku.. Aku.. Sudah cukup, Rud. Saatnya untuk kamu”.
Aku tahu yang dia maksudkan, maka kemudian pelan-pelan semakin kugenjot
gerakanku dan semakin bertenaga pula.
Ia kini membiarkanku melakukan itu. Kurasa Bu Via memang sudah puas
mendapatkan orgasme sampai tiga kali. Sekian lama kemudian kurasakan
lahar panasku ingin meledak. Penisku berdenyut-denyut enak, menandai
bahwa sebentar lagi akan ada ledakan dahsyat yang akan melambungkanku ke
awang-awang. Maka aku berusaha menarik penisku dari lubang vaginanya
yang nikmat itu. Tapi Bu Via menahan penisku dengan tangan lembutnya.
“Biarkan.. Biarkan.. Saja di vaginaku, Rud.. Aku ingin merasakan sensasi
cairan hangat itu.. Di vaginaku.. Uhh.. Uhh”. Maka ketika lahar panas
dari penisku benar-benar meledak, kubiarkan ia mengendap di sumur vagina
milik Bu Via, dengan diiringi teriakan nikmatku.
Setelah itu, Bu Via memintaku untuk tetap berada di atas tubuhnya
barang sesaat. Dengan lembut ia menciumi bibirku dan tangannya
mengusap-usap puting susuku. Aku juga melakukan hal yang sama dengan
mengusap-usap buah dadanya yang saat itu basah karena keringat. Dan
memang sensasi yang kurasakan luar biasa. Cooling down yang diinginkan
Bu Via itu membuatku merasa seakan-akan aku sudah sangat dekat dengan Bu
Via.
Aku merasa ia seperti kekasihku yang sudah sering dan sangat lama
bermain cinta bersama. Aku merasa sangat dekat. Maka begitu aku merasa
sudah cukup, aku menarik penisku yang sebenarnya masih sedikit tegang
dari lubang vaginanya. Tampak air muka Bu Via sedikit kacau. Wajahnya
berkeringat dan anak rambutnya satu dua menempel di dahinya. Kami
kemudian pergi ke kamar mandi pribadinya di kamar itu.
Kamar mandinya juga wangi. Sambil bergurau, aku menggodanya.. “Ibu..
Justru kelihatan cantik setelah bercinta”. Ia hanya tertawa mendengar
gurauanku. “Memang setelah bercinta denganmu tadi, seluruh pori-poriku
seperti terbuka. Aku sedikit capai tapi merasa segar”, jawabnya dengan
berbinar-binar. Ia tampaknya memang puas dengan permainan cinta kami. Di
bawah shower, kami membersihkan diri dengan mandi bersama-sama.
Kadang-kadang kami saling membersihkan satu sama lain. Ia
membersihkan penisku dengan sabun dan aku membersihkan sekitar vaginanya
juga. Ia tertawa geli saat aku dengan halus mengusap-usap vaginanya dan
rambut kemaluannya yang lebat itu. Setelah itu, kami duduk-duduk saja
di sofa di depan TV. Kami menonton TV, sambil mengobrol dan menikmati
kopi panas yang ia buat.
Tapi ia masih membiarkan pemutar CD-nya hidup. Kali ini suara Deep
Forest yang juga mistis mengisi suasana ruangan itu. “Kamu tadi luar
biasa, Rud.” katanya memujiku. “Meskipun masih muda, kamu bisa bercinta
dengan sabar. Aku sampai mendapat orgasme tiga kali”. Ia tersenyum.
Matanya berbinar-binar. “Ah, itu juga karena Ibu. Gerakan Ibu yang sabar
dan lembut membuat saya juga terpengaruh.” Kami mengobrol sampai malam.
Ia kemudian berkata, “Menginap di sini saja, Rud. Ini sudah malam.
Besok pagi- pagi sekali kamu bisa pulang.” Setelah berpikir sejenak
aku mengiyakan sarannya. “Kalau begitu masukkan saja motormu di garasi”
katanya sambil memberikan kunci garasi. Maka aku turun untuk memasukkan
motor tigerku ke garasi seperti yang di sarankan Bu Via. Ketika aku naik
kembali ke atas, ia sudah berganti pakaian dengan gaun tidur terusan
yang tipis dan halus, sehingga potongan tubuhnya tampak. “Kopinya tambah
lagi, Rud?” tanyanya. Aku mengiyakan saja.
Saat ia meraih cangkir kopi di meja, aku menangkap pemandangan indah
di balik pakaiannya yang tali pinggangnya tidak diikat dengan ketat. Ia
tidak memakai bra-nya, sehingga buah dadanya yang tadi kunikmati, tampak
dengan jelas. Mulus dan indah. Pemandangan itu membuat aliran darahku
berdesir kembali. Apalagi saat aku mencium aroma parfum dari tubuhnya,
lembut dan menggairahkan.
Beda dengan aroma yang dia pakai sebelum kami berhubungan seks tadi.
Sesaat kemudian ia telah kembali sambil membawa dua cangkir kopi. Tali
pinggang pakaiannya yang semakin longgar membuat pemandangan indah di
baliknya semakin tampak. Apalagi saat ia duduk, pakaiannya yang
tersingkap menampakkan paha putih mulusnya, yang ditumbuhi bulu-bulu
halus.
Serta sedikit bukit venus yang di pinggir celana dalamnya tersembul
rambut yang menggairahkan. Kami kembali mengobrol. Ia kemudian menatapku
lama, sambil bertanya, “Kau tidak capek, Rud?”. “Tidak”, jawabku.
Sekali lagi ia menatapku lama lalu tangannya merangkul leherku dan
sesaat kemudian ia telah melumat bibirku kembali dengan lembut.
Kali ini tanganku segera meraba buah dada di balik pakaiannya yang
longgar yang sejak tadi sudah menggodaku. Ia masih melumat bibirku saat
tangannya pelan-pelan membuka kancing kemejaku dan kemudian
melanjutkannya dengan menarik resliting celanaku. Begitu aku tinggal
mengenakan celana dalam, ia juga melepas gaun tidurnya. Tinggallah kami
berdua hanya memakai celana dalam. Kemudian aku menyambar buah dadanya.
Maka semakin lama, seiring dengan jeritan kecilnya yang terpatah-patah,
buah dadanya semakin kenyal dan mengeras. Ia menarik payudaranya dari
mulutku. Kemudian tangannya menarik celana dalamku.
Sejenak kemudian ia telah mengulum penisku yang sejak tadi juga sudah
tegang dan keras. Tapi yang dilakukannya tidak lama. Ia memintaku untuk
tidur telentang di sofa. Lalu ia melepas celana dalamnya dan telungkup
di atasku. Ia membelakangiku. Vaginanya yang sudah mulai basah berlendir
dan kelihatan merah didekatkannya di atas mulutku. Sedangkan ia segera
menangkap penisku yang berdiri tegak dan mengulumnya. Maka kami bedua
saling mengulum, saling menjilati dan saling menyedot.
Kadang-kadang ia berhenti melakukan aksinya. Barangkali karena ia
lebih dikuasai oleh perasaan nikmat karena lubang vaginanya yang merah
segar serta klitorisnya kupermainkan dengan mulut dan lidahku. Ia
mendesah mengerang terpatah-patah. Setelah ia puas dan ingin segera
memulai aksi puncak, ia menggeser pinggulnya menjauh dari mulutku,
menuju penisku yang semakin lama kurasakan semakin keras. Tangannya
menangkap penisku dan membimbingnya memasuki vaginanya.
Dengan masih membelakangiku, ia menggoyang pinggulnya dengan lembut.
Tapi sesaat kemudian, ia berbalik menghadapku. Gerakannya saat ia
berbalik menimbukan gesekan pada penisku yang luar biasa. Membuat
sensasi yang semakin nikmat. Maka dengan menghadapku ia melanjutkan
gerakan spiral pinggulnya tetap dengan halus. Naik turun, maju mundur
dan memutar. Aku juga berusaha menggerakkan pinggulku agar menimbulkan
sensasi yang lebih nikmat.
Maka semakin santerlah erangan dan desahan dari mulutnya yang
terbuka, sambil matanya terpejam. Suara-suara itu beriringan dengan lagu
Deep Forest dari CD yang terus mengalun mistis. Tanganku yang semula
memegangi pinggulnya di bawanya naik ke atas agar mempermainkan buah
dadanya yang bergoyang-goyang mengikuti gerakan pinggulnya. Maka
kemudian tanganku mempermainkan buah dadanya itu. Kuelus dan kupelintir
kedua putingnya yang coklat kemerahan.
Sekian lama kemudian ia menjerit sambil meracau.. “Uhh.. Uhh.. Aku
orgasme.. Aku orgasme, Rud.. Ah.. Ahh..” Setelah ia menjerit panjang
menandai orgasmenya, ia membuka mata. Kemudian ia tidur menelungkup
dengan beralaskan bantal sofa, dengan kedua kaki mengangkang terbuka,
sehingga belahan vaginanya yang indah, merah dan basah berlendir tampak
sangat menggairahkan.
Ia memintaku juga untuk menelungkup di atasnya. Dengan kedua tanganku
yang memegangi kedua buah dadanya sekaligus sebagai penahan berat
badanku, aku menelungkup di atasnya. Dan kusodokkan dengan lembut
penisku yang masih tegang dan keras ke lubang vaginanya dari arah
belakang. Kini aku yang harus lebih aktif, maka kugerakkan pinggulku
maju mundur, naik turun. Bu Via masih terus mengerang dan mendesah
terpatah-patah dengan mata yang terpejam. T
anganku juga tetap aktif mempermainkan buah dada dan puting susunya.
Sedangkan mulutku kupakai untuk menelusuri lehernya yang jenjang dan
halus. Sekian lama kemudian terasa lahar panasku akan meledak. “Uhh..
Ahh sebentar lagi.. Sebentar lagi hampir..!”, kataku terbata-bata.
“Uhh.. Uhh.. Aku juga, Rud. Jangan kau cabut penismu. Kita sama-sama..
Ahh.. Ahh” Sesaat kemudian kami sama-sama menjerit kecil, menandai
puncak kenikmatan yang kami capai bersamaan.
Seperti sebelumnya, Bu Via memintaku tidak segera mencabut penisku.
Matanya masih terpejam, tapi wajahnya tersenyum. Aku juga masih
mempermainkan buah dadanya dengan lembut. Ia dengan lembut berkata..
“Aku bahagia sekali malam ini, Rud..”, yang kemudian kujawab dengan
kalimat yang sama. Ia kemudian memintaku mencabut penisku dari lubang
vaginanya.
Lalu ia telentang dan mencium bibirku dengan lembut. Ia seterusnya
meneguk kopi yang sudah mulai dingin. Tampak bahwa ia kehausan setelah
permainan seks yang indah itu. Dengan masih bertelanjang bulat, ia
berjalan ke luar ruangan itu dan sesaat kemudian membawa sebuah lap dan
semprotan air untuk membersihkan spermaku dan lendir vaginanya yang
tumpah di atas sofa. Aku membantunya membersihkan noda itu.
Setelah itu, seperti seorang remaja yang sedang jatuh cinta, ia
menuntunku menuju kamar mandi pribadinya untuk bersama-sama membersihkan
diri. Karena kecapaian dan memang sudah cukup malam, kami kemudian
memutuskan untuk tidur. Saat aku kebingungan karena aku memakai jeans
dan kemeja yang tentu saja tidak nyaman, Bu Via menyarankanku untuk
tidur dengan celana dalam saja. “Sudah, pakai celana dalam saja, biar
suhu AC-nya kuminimalkan”, demikian katanya.
Aku menyetujuinya. Ia memintaku tidur di ranjangnya. Kulihat Bu Via
juga hanya memakai gaun tidur halus dan tipis saja serta celana dalam
tanpa mengenakan bra. “Aku memang biasa begini, Rud. Rasanya lebih
nyaman dan bebas bernapas”, katanya. Di balik selimut, Bu Via memelukku
dan menyandarkan wajahnya di dadaku. Maka aku tersenyum saja saat buah
dadanya yang hangat dan lembut, yang menyembul keluar dari gaun tidurnya
yang tidak ditalikan dengan erat, sering terasa bergesekan dengan
dadaku. Demikian juga dengan Bu Via. Esoknya, pagi-pagi sekali HP-ku
sudah berbunyi.
Kiki menghubungiku. Memang begitu kebiasaannya, yang membuatku sering
jengkel. Tapi jika kutegur, ia hanya akan tertawa-tawa saja. Kangen
katanya. Begitu aku selesai bicara, Bu Via bertanya.. “Siapa, Rud?
Pacarmu, ya?” Ia hanya tersenyum ketika aku mengiyakan pertanyaannya.
Kemudian ia bangkit dari ranjang. Tali gaun tidurnya yang terlepas
memperlihatkan payudaranya yang mulus putih, serta bukit venusnya yang
menonjol indah mengundang gairah. Ia membenahinya dengan tenang, sambil
tersenyum melihatku terpana melihat pemandangan itu. Kemudian ia ke
kamar mandi.
Segera terdengar suara yang mendesis, mengalahkan suara kran yang
mengalir lambat. Bu Via sedang pipis rupanya. Mendengar suara seperti
itu timbul gairahku. Sesaat kemudian ia keluar dari kamar mandi.
Kemudian ia berbisik kepadaku.. “Kau tidak ingin mengulang kenikmatan
semalam, Rud?” Aku tersenyum memahami yang ia maksudkan. “Sebentar,
Bu..”, jawabku sambil menuju ke kamar mandi, karena ingin kencing.
Setelah itu kami mengulangi percintaan kami semalam. Badanku yang
segar karena tidur yang nyenyak semalam, membuatku bersemangat melayani
gairah Bu Via yang juga tampak segar. Aku merasakan vaginanya lebih
hangat dan justru beraroma lebih menggairahkan pada pagi setelah bangun
tidur seperti itu. Dan bau badannya juga lebih natural.
Kami bercinta sampai Bu Via mendapat orgasme tiga kali. Jadi selama
bercinta denganku, Bu Via menikmati orgasme sebanyak delapan kali. Maka
siangnya, ketika aku bertemu dengannya di kampus ia tampak sangat
gembira. Wajahnya berbinar dan kelihatan sangat bergairah menjalani
aktivitasnya hari itu.
Begitulah, kini hampir setiap akhir pekan aku selalu mendapat SMS
dari Bu Via yang bunyinya begini: “Kau tidak sibuk malam nanti kan, Rud?
Bisa datang ke rumah?” Maka setiap mendapat SMS seperti itu segera
selalu terbayang sesuatu yang menyenangkan yang akan kami lakukan
bersama. Setiap akhir pekan anaknya selalu bermalam di rumah sepupunya
di luar kota sehingga Bu Via sendirian di rumah. Dan pembantunya juga
pulang karena hanya datang pada siang hari saja.
Setiap aku mendapat SMS itu, aku juga segera menghapusnya agar tidak
terbaca oleh Kiki. Di kampus aku juga berusaha bersikap biasa saja
dengan Bu Via. Ia dosen yang baik dan dihormati oleh semua orang di
kampus. Aku sedikitpun tidak ingin merusak citranya. Dan ia pun seorang
yang professional, meskipun di luar kami sering bercinta, ia tetap
menghargaiku sebagai mahasiswanya dan ia tetap membimbing tugasku dengan
serius. Sesuatu yang sangat aku sukai. Bercinta dengannya bukan sekedar
mendapat kepuasan libido, aku merasakan sesuatu yang lain. Entah apa
itu.
Belum ada tanggapan untuk "DOSEN CANTIK BERGAIRAH"
Posting Komentar